Text
Tiap Akhir Adalah Rumah
Kesalahan selalu dapat diperbaiki. Tapi, penyesalan tidak selalu dapat diterima. Apakah, iya?
Sebagai manusia yang memang gemar mencari alasan untuk suka maupun tidak suka terhadap apa saja yang dilihat. Mempertanyakan tentang mengapa suara-suara perlu didengar. Merasakan sesuatu yang bahkan tidak sudi untuk dirasakan. Menangis dan tertawa secara bersamaan atas sesuatu yang tidak diketahuinya sekalipun. Maka, perlukah kita menertawakan sekumpulan ikan yang tengah berupaya memanjat pohon pisang?
Hari ini, aku terselamatkan oleh kicauan burung kenari yang tidak kunjung berhenti. Mungkin, ia tengah bernyanyi atau justru sedang menggerutu. Sebab, kantuk mengiba didekap dan pejam tidak melepaskan satu kehangatanpun.
Pagi terlalu pagi. Mengusap pelupuk mata tidak beda seperti merindukan kekasihku. Tidak perlu kupertimbangkan. Tidak perlu kupikirkan matang-matang. Aku membutuhkannya.
Lelap tidak sungguh-sungguh pulas. Mimpi semalam pun tidak dapat kuingat. Sedangkan jarum jam tampak mencemoohku. Serupa mempertanyakan tentang mengapa aku perlu terbangun.
Malam tadi, aku tidur dengan mengenakan kemeja putih berukuran dua kali lebih besar dari postur tubuhku. Rambutku yang semula terurai bebas di punggung, kuikat satu. Mataku masih separuh merah ulah kuusap. Sepanjang malam, aku
memutar nalar di antara dunia yang begitu luar biasa. Melihat langit ungu kehitaman dan bintang-bintang yang sesekali meredup. Bulan tidak berada di atas kepala dan aku pun tidak tahu alasannya. Mungkin, terhadang gumpalan awan yang berarak.
Pagi ini, tirai di sebelah tempat tidur masih tertutup rapat. Tapi, pancaran sinar matahari yang menembus masih sanggup membangunkanku dari tidur. Menembus ataupun tidak, bukan masalah. Sebab, tidak seluruh pagi adalah cerah.
Aku, tahu itu.
Tidak tersedia versi lain