Text
Gelap-Terang Hidup Kartini
Buku ini adalah bagian dari serial Perempuan-Perempuan Perkasa yang diangkat dari edisi khusus Majalah Tempo April 2013. Ide penulisan sejarah Kartini ini adalah agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh tentang Sang Pendekar. Pengetahuan mengenai Kartini yang diajarkan di sekolah tak sepenuhnya membentuk pemahaman yang melampaui hal ihwal yang sudah klise dan rutin. Kartini, ningrat Jawa yang mendobrak kungkungan adat melalui pikiran-pikirannya hanya diperkenalkan dan dikenang sebagai pahlawan emansipasi wanita. Soal apa persisnya pikiran-pikiran itu dan bagaimana Kartini merumuskannya tak pernah benar-benar didedahkan, kecuali untuk mereka yang berinisiatif mencari sendiri.
Lalu, muncullah kalangan yang yang mempersoalkan pemilihan Kartini sebagai pahlawan kaum perempuan. Mereka menganggap Kartini sebagai figur yang diatur oleh Belanda dan bahwa pada masa yang sama sebetulnya ada beberapa perempuan lain yang lebih baik daripada Kartini. Adanya keyakinan dan keraguan itu yang menjadi pertimbangan penulis edisi khusus Tempo untuk membangkitkan kembali kesadaran kenapa Kartini penting dan pantas disebut sebagai pahlawan emansipasi wanita.
Melalui upaya jurnalistik yang mengangkat fakta dengan menarik, dramatis, dan tanpa mengabaikan akurasi, penulis buku Gelap Terang Hidup Kartini berhasil mengulas kehidupan sosok Kartini secara mendalam, tentang gelap terang hidupnya sedari kecil sampai dua puluh lima tahun perjalanan hidupnya yang singkat. Perjuangan-perjuannya yang tanpa henti demi memajukan kehidupan perempuan pribumi patut dihargai. Buku ini cocok sebagai bahan bacaan dari mulai anak-anak sampai dewasa, terkhususnya bagi wanita. Sebagai kaum wanita harus meneladani sifat-sifat Kartini agar jangan mau tertindas oleh apapun, kita harus bangkit dan menjadi sosok yang maju dalam hal berpikir dan bertindak seperti halnya yang dilakukan oleh R. A. Kartini.
Kartini dikenal sebagai pemikir feminisme awal di Indonesia. Dia perempuan yang gagasan-gagasannya mencerahkan dan mengilhami kalangan yang lebih luas. Untuk hal ini, dia meninggalkan ratusan pucuk surat, bagian dari korespondensinya dengan sahabat-sahabatnya di Belanda. Surat-surat itu sejauh ini merupakan dokumen tertulis paling awal hasil pemikiran perempuan, dengan cakupan topik yang beragam meliputi kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian yang diperoleh pada masa itu. Sebagian dari surat itu dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku yang aslinya berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Tulisannya yang tajam dan jernih itu mengguncang Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali pada 1911 oleh Jacques Henrij Abendanon, seorang direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda..
Awal perlawanan Kartini dimulai di lingkungan keluarganya sendiri. Dia bersama dengan kedua adiknya berani melepaskan unggah-ungguh atau etiket yang dinilai ruwet. Kartini mengizinkan adik-adiknya memanggil dengan kata "kamu", begitu pula Kartini memanggil adik-adiknya, hal yang sebelumnya terlarang. Kartini tak butuh panggilan dengan kromo inggil atau bahasa halus, apalagi sembah setelah berbicara yang berasal dari adik-adiknya. Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, inilah semboyan di masa Revolusi Prancis yang didapat Kartini dari bacaannya. Dia terpikat dan mencoba menerapkannya, sehingga kekakuan dalam hubungan persaudaraan antara Kartini dan adik-adiknya meleleh. Pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan pula yang ditekankan Kartini untuk memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, melalui sekolah dan cara-cara lain akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya.
Kartini juga banyak berkorespondensi dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis Belanda, sehingga menarik Belanda untuk memperhatikan nasib perempuan Jawa. Korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh Belanda dibuka lewat perkenalannya dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink yang mulai bertugas di sana tepat sesaat sebelum Kartini masuk pingitan. Lalu ada lagi yaitu Estelle Zeehandelaar, seorang aktivis feminis pembela hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, binatang, dan rakyat jajahan. Stella, demikian Kartini memanggilnya berusia lima tahun lebih tua daripada Kartini. Lewat perkenalan Kartini dengan Marie Ovink dan Stella membuka jalur perkenalannya dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis lain, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri serta anak mereka, E. C. Abendanon. Dalam suratnya, Kartini membahas berbagai topik, di antaranya yaitu tentang tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan Jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya membangun sekolah, dan rencananya yang ingin bersekolah di Belanda.
Buku ini juga menceritakan tentang masa kecil Kartini. Sejak kecil, Kartini tak bisa diam. Ia lincah, usil terhadap guru-gurunya, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena sikapnya yang lincah, gesit, pandai, dan mudah bergaul membuat Kartini sangat menonjol di sekolahnya di Europeesche Lagere School. Selain mendapat pendidikan formal dan pendidikan bahasa Jawa, Kartini kecil memperoleh pendidikan membaca Al-Quran. Pada 1892, saat usia Kartini memasuki umur 12 tahun 6 bulan, Kartini sudah tidak boleh lagi melanjutkan pelajarannya. Ia sudah dianggap cukup besar untuk dipingit, dikurung di dalam rumah tanpa hubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menceritakan kesedihannya. Betapa Ia memohon sambil menangis dan bersujud kepada ayahnya agar diperbolehkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School atau Sekolah Menengah Umum di Semarang.
Pada 1903, Kartini berhasil untuk mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Kartini menyulap beranda rumahnya menjadi sekolah bagi gadis pribumi. Awalnya, sekolah tersebut hanya diikuti oleh satu orang saat dibuka pertama kali. Akan tetapi, karena kegigihannya, hari demi hari jumlah murid di sekolahnya semakin bertambah. Kartini selalu menghubungi para orang tua yang mempunyai putri untuk dididik di sekolah yang Ia dirikan bersama adik-adiknya itu. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak. Sekolah rintisan itu dibuka empat hari dalam seminggu, dari pukul 08.00 hingga 12.30. Kartini juga membantu para pengukir Jepara dengan menciptakan motif macan kurung, motif pahatan kayu yang masih bertahan hingga kini. Ia menghubungi perkumpulan Oost en West untuk menghidupkan kerajinan tangan Hindia Belanda. Perkumpulan itu beberapa kali menggelar pameran kerajinan dan menarik perhatian publik di Nederland.
Walaupun Kartini sangat membenci dan menolak poligami. Pada akhirnya Ia menjadi korban dari tradisi tersebut. Ketika harus memilih apakah berkukuh pada pendiriannya atau menunjukkan rasa sayang kepada ayahnya, Kartini menyerah. Ia setuju untuk menjalani poligami dengan menerima pinangan Bupati Rembang semata demi memulihkan martabat ayahnya. Bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat sendiri adalah lelaki dengan tiga selir dan tujuh anak. Lamaran kepada Kartini diajukan setelah istri utama sang Bupati meninggal. Pada 1904, empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, Kartini wafat di pelukan suaminya dengan meninggalkan berbagai kisah perjuangannya. Di buku ini juga membahas tentang anak tunggal Kartini, Raden Mas Soesalit yang lebih memilih terjun ke dunia militer daripada meneruskan takhtanya sebagai penerus Bupati Rembang.
Buku Gelap-Terang Hidup Kartini ini terdapat beberapa keunggulan. Di antaranya ialah ukuran buku yang lumayan besar membuat tulisan di dalamnya jelas dan mudah terbaca, sehingga mata tidak akan cepat lelah saat mambacanya. Buku juga dilengkapi dengan banyak gambar, dengan penataan gambar yang apik di setiap membuat buku menjadi lebih menarik dan pembaca mempunyai gambaran tentang apa yang dimaksud penulis dalam buku ini. Walaupun bahasa yang digunakan agak tinggi, tetapi tidak sulit untuk memahami setiap kata dalam ulasan yang dimaksud.
Dalam setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Pada buku ini kekurangan terletak pada sampul buku yang kurang menarik, warna sampul buku didominasi warna-warna gelap sehingga kurang bisa untuk menarik perhatian anak yang biasanya lebih menyukai warna-warna cerah. Lalu, dilihat dari segi penulisannya pun juga masih banyak kekurangan. Penggunanaan tanda baca koma masih belum benar dan masih kurangnya penjelasan dari setiap kata-kata yang mungkin bagi anak-anak masih asing, seperti penggunaan kata feodalisme, filantropis, dll.
Tidak tersedia versi lain