Text
Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri
Ternyata, melihat diri sendiri itu tidak mudah. Butuh ruang yang mesti kita sediakan untuk menempatkan berbagai kekurangan dan kesalahan. Bukan dipoles atau dilupakan. Tapi, menjadi gudang atau brankas, yang sesekali perlu dibuka. Menjadi aset untuk kesediaan selalu membenahi kekurangan dan tidak mengulang kesalahan. Hati mesti punya catatannya sendiri.
Di ruang itu, di depan cermin besar itu, kita memantasmantaskan diri. Sudah seperti apakah lelampah mereka, para masyayikh itu, membekas di hati kita? Atau cukupkah kita bangga—bagi saya sebagai keluarganya atau Anda sebagai santrinya—dengan hanya menceritakannya kembali kepada anak cucu kita?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan cucu-cucu kita kelak. Tidak mustahil mereka akan melupakan kita karena kita tidak pernah berbuat apa-apa. Tidak ada yang heroik dalam hidup kita, selain nunut punya nama baik karena kebetulan punya mbah buyut atau guru yang baik.
Mereka para Masyayikh, membangun kemuliaan dengan cucuran keringat bening keikhlasan. Dengan tumpahan air mata. Tidak hanya di kebisingan siang, tapi juga di kesunyian malam. Dengan rasa lapar yang dibiarkan di tengah piringpiring yang penuh makanan. Karena, kemuliaan kadang memang harus dibangun dengan melawan diri sendiri. Sedang kita lebih sering memilih kalah oleh mimpi. Kita rebut ribut mengejar upo, dengan menginjak-injak tumpeng sebagai pijakannya. Kita bingung dengan diri sendiri.
Sedihnya lagi, kadang kita merawat kemuliaan “warisan” saja tidak becus. Apalagi mau membangunnya sendiri. Kita lebih senang “memanfaatkannya” daripada menjaganya. Padahal nilai kita adalah bagaimana bisa memperlakukan “warisan” itu utuh atau mungkin menambahnya lebih baik sampai kelak nanti.
Tidak tersedia versi lain